Posted by: hikmahs | June 25, 2009

Mahar

Khazanah: Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol.1/ No.6

(Acredited Journal No.55/ DIKTI/Kep/2005)

MAHAR DALAM KONTEKS SOSIAL-BUDAYA MUSLIM

(Mahar dan Status Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Amuntai, Kalimantan Selatan)

Abstrak

Dinamika hukum dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mahar, erat kaitannya dengan pranata dan sistem sosial. Tulisan ini menganalisis praktek mahar dalam kaitannya dengan status sosial pada komunitas muslim Amuntai, Kalimantan Selatan. Data dokumen registrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Amuntai Tengah, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan digunakan untuk mendukung penelitian ini. Melalui pendekatan empiris terlihat bahwa mahar berfungsi sebagai indeks status sosial (nobilitas) seseorang. Status marital dan kelas sosial perempuan (baca keluarga) berpengaruh secara signifikan terhadap besaran dan jenis mahar. Temuan ini mengimplikasikan urgensitas analisis sosiologis untuk menjelaskan realitas hukum di masyarakat (hukum tidak hanya apa yang tertulis, tetapi juga sebagai serangkaian nilai-nilai yang hidup d masyarakat). Hukum bukan rangkaian logika yang sistematis dan konsisten, tetapi ia adalah pengalaman hidup manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kata Kunci : Hukum, Mahar, Kultur, Struktur, dan Status Sosial

A. Latar Belakang

Analisis sosial menempatkan hukum sebagai bagian dari fakta sosial.(1) Dalam konteks ini, mahar berfungsi sebagai satu instrumen hukum yang sentral dalam pernikahan Islam dan mendapat banyak sorotan ilmiah. Namun demikian, kajian yang ada tentang mahar selama ini terlalu terfokus pada dimensi normatif-vitasnya. Mahar sebagai satu bagian dari “simbol” dalam kehidupan sosial sebetul-nya memain-kan fungsi dan peranan yang sangat penting terutama dalam kaitan-nya dengan refleksi sosial-kultural, bahkan juga ekonomi. Perbedaan transliterasi istilah mahar (bhs.Arab) ke dalam bahasa lokal seperti “dower” dan “dowry” (Inggris), jujuran (Banjar), dan maskawin (jawa) mengisyaratkan diversifikasi pemaknaannya.(2) Dalam kajian sosial, mahar baik secara ontologis maupun simbolis erat kaitannya dengan realitas sosial, terutama dalam konteks stratifikasi sosial. Pada masyarakat tertentu mahar menjadi indeks kelas sosial atau eksistensi “nobilitas” seseorang.(3)

Tulisan ini mengkritisi mahar dalam realitas kehidupan masyarakat muslim Amuntai, Hulu Sungai Utara (selanjutnya HSU), Kalimantan Selatan. Dalam tulisan ini saya mengembangkan satu tesis bahwa dimensi sosial-kultural hukum sangat inheren dalam dinamika aplikasi hukum di masyarakat. Bagian pertama tulisan akan mendiskusikan konteks teoritis mahar dan status sosial. Bagian kedua mendeskripsikan acuan metode penelitian. Bagian ketiga akan menyajikan hasil penelitian yang kemudian diakhiri dengan analisis dan interpretasi terhadap hasil penelitian. Di bagian kesimpulan akan dikritisi implikasi dari hasil studi.


B. Konteks Teoritis Studi Mahar dan Status Sosial

1. Nilai Normatif

Mahar dalam diskursus fiqh merupakan salah satu syarat kesahihan pernikahan. Calon suami wajib memberikan mahar kepada calon istrinya. Pada era pra-Islam, mahar diberikan kepada dan dimiliki keluarga (ayah) perempuan. Oleh Islam, tradisi ini ditentang, dan kemudian dirombak total. Al-Qur’ân surat al-Nisâ’ ayat 4 mensinyalir bahwa “berikanlah kepada perempuan (yang kamu nikahi) mahar sebagai pemberian (nihlah, arab) dengan kerelaan”. Makna ayat menegaskan, mahar tidak hanya diberikan laki-laki kepada perempuan, tetapi dia pemilik tunggal atas mahar tersebut. Dengan kata lain, Islam sejalan dengan ajaran moralnya untuk memberdayakan kaum perempuan telah melegislasikan satu terobosan formal yang sangat radikal tentang mahar. Mahar merupakan hak prerogatif mempelai perempuan, dan siapapun, termasuk orangtua dilarang mengintervensi hak individual tersebut (QS.4:4, 20, 24).

Nilai lain yang diajarkan oleh pesan substansial dan simbolis ayat di atas bahwa Islam tidak memprioritaskan nilai kuantitatif-material mahar. Pakem ÕÏÞÉ   dalam ayat dimaksud yang kemudian diterjemahkan dengan arti mahar dapat bermakna baik simbolis maupun eksposisif.(4) Secara simantik, kata sedekah dapat bermakna persabahatan yang tulus, transendental dan suci; yaitu persa-habatan yang disatukan oleh ketulusan cinta, dan kasih-sayang dalam rangkulan dan belaian nilai-nilai ilahiah. Karenanya, dalam arti ini, Islam secara simbolis mengajarkan pesan moral kepada umatnya tentang kedalaman hakekat makna mahar. Dengan kata lain, mahar bukan harga jual seorang perempuan seperti yang banyak disalahpahami dalam diskursus sosiologis-antropologis yang bernuansa orientalistik.

Hukum Islam tentang mahar tidak memisahkan dimensi moral dari bingkai formalnya. Namun dalam sejarah pemikiran hukum modern, aspek formal begitu ditonjolkan terutama untuk tujuan kepastian hukum. Bahkan Hart sebagai seorang tokoh yang beraliran positivisme hukum dengan tegas menyerabut aspek moral dari hukum. Hukum kemudian direduksi menjadi sebatas konstruk formal yang mengejar kepastian dan logika yang konsisten.(5) Berbeda dengan tradisi kontinental yang positivistik, perkembangan hukum dalam tradisi ulama sangat menekankan aspek moral. Dalam Islam, hukum atau fiqh lahir dari buah kesalehan para ulama. Dalam kontesk ini, jenis dan jumlah mahar –sebagai dimensi yang paling formal dari hukum– kurang mendapat porsi sorotan teknis yang rinci dalam kajian fiqh terutama jika dihubungkan dengan variabel sosial.

Secara praktis, potret praktek mahar di masyarakat Islam cenderung dibiarkan berjalan sesuai dengan bingkai meknisme konstruksi sosial-kultural di mana pemikiran fiqh tersebut dipraktekkan. Namun tidak berarti bahwa kitab fiqh tidak membahas jenis dan jumlah mahar secara global. Dalam kaitan ini, Islam telah meletakkan konsep dasar mahar. Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya menasehatkan pijakan normatif praktek mahar. Hadits dimaksud menegaskan bahwa mahar yang paling baik adalah pemberian yang sederhana dan tidak memberatkan.(6) Tentunya makna frase “tidak memberatkan” di sini harus dipahami secara kritis dan kontekstual. Artinya, pemaknaan praktis institusi mahar harus mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat di mana dan kapan mahar tersebut dipraktekkan.

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, jenis mahar dan jumlahnya mengalami perubahan, dan terpolakan secara sosial-kultural. Di era peme-rintahan Umar bin Khattab, umpama, muncul tradisi mahar yang sangat tinggi, nyaris tidak terjangkau kemampuan standar umum. Kaum lelaki saat itu mengeluhkan dan memprotes besaran mahar tersebut dan dirasakan cukup memberatkan mereka yang berniat menikah. Secara kolektif keluhan ini mereka sampaikan kepada Umar bin Khattab. Dengan semangat ideologisnya yang patriarkis, Umar lalu berceramah lantang memperingatkan setiap perempuan atas tingkah polah mereka dalam mematok jumlah mahar. Tiba-tiba di satu sudut majelis saat itu seorang perempuan bangkit, dia lalu menyela khutbah Umar. Dengan sedikit nada jengkel dan protes,  perempuan tadi berkomentar keras; “Hai Amîr al-Mukminîn! Apakah anda akan merampas apa-apa yang oleh al-Qur’an telah diberikan kepada kami?” Perempuan tadi lalu mengutip QS. 4:20 seperti dipaparkan terdahulu. Setelah mendengar kritikan tajam di atas, Umar secara arif lalu dengan tegas meralat peringatan dan himbaunnya.(7)

Pidato dan sekaligus ralat yang dilakukan Umar di atas sungguh mengajar-kan beberapa hal penting tentang signifikansi pemaknaan mahar secara sosial-kultural. Pertama, tanpa disadari, Umar ternyata begitu mudah dipengaruhi oleh kesadaran ideologi patriarkisnya.(8) Hal ini mengimplikasikan bahwa tradisi dan praktek mahar di masyarakat luas bukan suatu variabel yang berdiri sendiri, tetapi pemaknaannya sarat dengan intervensi, atau paling tidak ada, penyusupan nilai-nilai praksis dan praktis yang berorientasi kepentingan kelompok tertentu.

Kedua, revisi dan ralat Umar menyiratkan bahwa mahar boleh berapa saja, asal sesuai dengan mekanisme legal, selera dan tuntutan perempuan. Perem-puan adalah satu-satunya standar dan pihak yang berhak menentukan jenis dan jumlah mahar. Namun demikian, pesan moralitas hadits seperti yang telah disinggung di atas mengajarkan kepada umat Islam untuk lebih menekankan makna simbolis dan filosofis yang luhur dari mahar ketimbang hanya terpaku pada aspek materialnya. Karenanya, fenomena mahar dalam kehidupan umat Islam erat kaitannya dengan sistem nilai dan sosial. Ia lebih sebagai model hasil pergumulan serangkaian usaha manusia untuk merefleksikan dan mengkonteks-tualisasi mahar dalam setting sosial-kulturalnya

2. Nilai praksis mahar dalam tradisi global

Mahar dan kontekstualitasnya dalam kajian antropologi-sosiologi bukan satu tema bahasan yang baru, mengingat institusi mahar bersifat lintas ruang dan waktu. Sudah cukup banyak penelitian digarap di bidang kajian ini, bahkan tidak hanya pada komunitas muslim, tetapi juga pada komunitas lain, baik masyarakat yang sudah maju atau yang tergolong relatif masih “terkebelakang”. Dalam kaitan ini, isu mahar terutama dalam konteks sosiologis cukup kompleks karena sangat terkait dengan banyak hal. Hamadullah ‘Abd al-‘Ati secara komprehensif merangkum persoalan mahar dengan baik dalam bukunya “The Family Structure in Islam”.(9) Menurut beliau, upaya untuk memahami realitas tradisi mahar pada komunitas tertentu harus mempertimbangkan konteks sosial dan kulturalnya terutama ideologi kelas, nilai-nilai keagamaan, sistem kekerabatan dan persepsi sosial tentang anak.(10) Dengan kata lain, sebagai fakta dan fenomena sosial –mengacu pada paradigma durkheimian– maka keberadaan mahar di satu masya-rakat sangat ditentukan faktor-faktor diskursif yang melingkupinya, terutama stratifikasi sosial.

Berbagai teori sosiologis telah dibangun untuk menjelaskan isu sosial-kultural mahar. Berbeda dengan pandangan Islam yang lebih menekankan aspek mora-litas, teori ekonomi memandang mahar sejenis konpensasi yang harus diberikan fihak laki-laki kepada fihak keluarga calon mempelai perempuan; dalam artian ganti-kerugian keluarga untuk biaya membesarkan anak gadisnya.(11) Menurut al-‘Ati, teori ini dalam banyak hal ada titik kelemahannya dan tidak mampu menerangkan kompleksitas semangat dan praktek mahar dalam ajaran Islam.

Ada dua alasan mendasar untuk menfalsifikasi, paling tidak meragukan validitas asumsi ekonomi di atas.(12) Pertama, berbeda dengan apa yang mentradisi di era pra-Islam, mahar dalam ajaran Islam secara khusus, diskursif dan eksklusif, merupakan aset dan hak pribadi calon mempelai perempuan. Dia dapat bertindak apa saja terhadap mahar tersebut sejauh dilakukan atas dasar prinsip Islam. Kedua, Islam mengizinkan mahar dengan limit nilai yang sangat minimal, seharga seutas cincin besi murahan. Jika mahar difahami secara ekonomis seperti keyakinan Reuben Levy,(13) maka pemberian saidina Ali seutas cincin besi kepada Fatimah tentunya tidak mempunyai makna dan signifikansi ekonomis sama sekali. Dengan kali lain, mahar menurut filosofis al-Qur’ân tidak sebatas aspek ekonomi, tetapi ia secara instrumental dijadikan simbol ketulusan cinta dan kasih-sayang yang mengikat hubungan dua insan dalam akad pernikahan.

Namun demikian, aspek ekonomi dari mahar tidak seluruhnya dilarang dalam Islam. Mengacu pada QS. 4:20, perempuan dapat meminta mahar sesuai dengan daftar keinginannya. Di sejumlah komunitas Islam seperti arab dan beberapa komunitas muslim lainnya di Indonesia, terutama yang masih kuat menjaga “gengsi” dan status sosial keluarga, mahar ditakar berdasarkan luapan kebanggaan untuk mempertunjukkan posisi (status) sosial seseorang dalam bingkai stratifikasi sosial. Akibatnya, mahar dapat sangat mahal bahkan nominalnya nyaris tidak terjangkau “orang-kebanyakan”.(14) Perkembangan trend baru dalam hal nominal mahar tidak ayal lagi mengundang pro-kontra; simpati dan alergi dari banyak kalangan. Tetapi inilah fakta mahar di banyak komunitas muslim seperti suku bugis, sasak, banjar dan sejumlah komunitas muslim yang mendiami daerah Lampung.

Mahar mempunyai fungsi praktis yang beragam dalam masyarakat. Abu Zahrah menerangkan bahwa selain secara etis-filosofis menjadi tanda keseriusan dan ketulusan ikatan pernikahan, mahar –dalam makna pemberian– berfungsi sebagai bentuk bantuan material suami kepada calon istrinya guna persiapan untuk menempuh kehidupan berumah-tangga.(15) Di sisi lain, mahar dapat juga dijadikan sebagai instrumen untuk mengontrol kekuasaan (kesewenangan) suami untuk menceraikan istrinya, dimana sang suami harus membayar keseluruhan sisa mahar yang belum dia lunasi.(16) Bahkan menurut as-Samaluthi, mahar sering digunakan sebagai “pencipta” berbagai jalur dan bentuk hubungan sosial.(17) Artinya, melalui media mahar, jaringan hubungan sosial dapat terbangun secara luas dan dapat juga difungsikan sebagai ikatan khusus untuk mempererat tali “perbesanan”.

Jumhur fuqahâ’ secara aklamatif menyepakati bahwa mahar wajib diberi-kan calon suami kepada calon istrinya. Namun demikian, waktu penyerahan serta jenis dan jumlahnya merupakan hasil kesepakatan bersama antara calon suami dan istri serta mempertimbangkan eksistensi keluarga istri.(18) Satu norma kunci dalam konteks ini bahwa mahar harus disesuaikan dengan kondisi fihak keluarga istri.(19)

Hal ini penting mengingat jumlah mahar yang terlalu kecil dapat menying-gung perasaan mereka. Pada masyarakat tertentu seperti pada suku sasak Nusa Tenggara Barat, mahar dan maskawin dibedakan makna dan signifikansi sosial-ekonomisnya. Dalam tradisi dan budaya Pakistan, kedua istilah tersebut secara jelas dibedakan.(20) Dalam bahasa Inggris, mahar diterjemahkan dengan istilah “dower” dan maskawin disebut dengan “dowry”.(21) Menurut Esposito, dower sesuatu yang harus diberikan suami kepada istrinya, sedangkan dowry sebagai kewajiban keluarga istri terhadap persiapan pernikahan anak gadisnya yang biasanya dibebankan kepada (keluarga) calon suami seperti yang lumrah terjadi di suku sasak dan bugis.

Secara doktrinal, dowry, walaupun tidak dapat dilacak akar ajarannya dalam hukum Islam, secara mapan sudah menjadi satu tradisi (pranata sosial) yang begitu melembaga di komunitas muslim. Di komunitas sasak, dower biasanya (kecuali untuk kelas bangsawan) jumlahnya relatif kecil, tetapi jumlah dowry juga dapat berlipat ganda, jauh melebihi jumlah dower. Dalam kerangka pemikiran fiqh, mahar harus disebut jenis dan jumlahnya, sedangkan dowry tidak wajib diberikan dan dikatakan pada saat akad nikah. Dowry dapat dalam bentuk property seperti pakaian, uang, perhiasan yang oleh keluarga pengantin perempuan harus disediakan.

Secara teoritis, dowry dimiliki oleh pengantin perempuan, namun dalam prakteknya, dowry sering diserahkan kembali kepada suami guna persiapan hidup berumah-tangga terutama dalam kasus pernikahan melalui lembaga perjodohan.(22) Pada masyarakat muslim India dan bajapuik Pariaman Sumatera Barat, dowry disiapkan dan diberikan keluarga mempelai perempuan, dan jumlahnya dapat sangat memberatkan (excessive dowry). Tradisi excessive dowry sampai sekarang masih umum dipraktekkan di anak benua Asia Selatan. Reformasi hukum di India dan Pakistan menurut pelacakan Esposito belum me-nyentuh tradisi ini secara substansial, tetapi baru sebatas meluruskan pasal-pasal khusus yang menegaskan bahwa mahar dan dowry merupakan pemilikan istri.

Di sisi lain, trend tradisi mahar secara empiris mengalami pergeseran, seperti dari uang atau benda yang bernilai praktis ke sesuatu yang bernuansakan simbol keagamaan dan penampilan. Dulu dalam masyarakat Jawa seperti yang dituturkan Hildred Geertz, orangtua sering menggunakan mahar dan momentum pernikahan anak sebagai kesempatan untuk unjuk status sosial kepada khalayak ramai.(23) Untuk tujuan revalidasi  status sosial tadi, orangtua sering merayakan pernikahan anak gadisnya secara meriah. Biaya untuk perayaan tersebut tidak jarang dibebankan kepada calon mempelai lelaki dalam bentuk masawin. Seiring dengan trend romantisisme dan respiritualisasi pernikahan sebagai institusi yang cenderung disakralkan, maka tradisi mahar mengalami perubahan; mahar tidak lagi diper-sepsikan secara material, tetapi lebih difahami dan ditempatkan pada posisi simbolik penampilan dan kesucian serta ketulusan hubungan laki-laki-perempuan yang akan menikah. Karenanya, benda-benda (terutama cincin, kalung, permata, dan jenis perhiasan lainnya) yang dapat menyimbolisasikan gengsi penampilan dan ketulusan tersebut akan cenderung dijadikan alternatif mahar. Sementara itu, alat salat dan al-Qur’ân lebih difahami sebagai simbol-simbol keagamaan yang diharapkan dapat melanggengkan pernikahan.

Dari gambaran teoritis di atas terlihat bahwa institusi mahar tidak sebatas aspek hukum per se, tetapi erat kaitannya dengan variabel-variabel sosial-kultural terutama yang menyangkut status sosial. Status sosial merupakan indeks tentang keberadaan tingkat sosial seseorang. Dalam kajian sosiologi, indikator status sosial yang terpenting adalah pekerjaan, pendidikan dan penghasilan.(24) Konsep status sosial yang akan diterapkan dalam studi ini hanya mencakup pekerjaan dan pendidikan, karena data tentang penghasilan tidak tersedia dalam buku besar data-base pernikahan di Kecamatan Amuntai Tengah, HSU, Kalimantan Selatan.

Pada masyarakat tertentu seperti Jawa dan juga Banjar, mahar dan perilaku pernikahan erat kaitannya dengan status marital seseorang.(25) Sudah menjadi opini publik bahwa predikat janda adalah sebuah “aib sosial”, stigma kecuali bagi sejumlah komunitas Sunda yang mendiami sebagian wilayah Indramayu, Jawa Barat.(26) Dalam konteks status marital ini, mahar untuk janda relatif kecil, dan pernikahan mereka umumnya dilakukan pada malam hari dengan persiapan walimah dan selamatan (aruh, bhs. Banjar) yang umumnya sangat sederhana. Oleh sebab itu, besaran mahar akan sangat ditentukan oleh status marital calon pengantin. Di sisi lain ada kecenderungan bahwa mahar di kalangan kaum terpelajar bergeser ke dalam bentuk perangkat alat ibadah seperti alat salat dan kitab suci al-Qur’ân, dan simbol-simbol keagamaan lainnya.(27) Satu hal lain yang juga lumrah ditemukan adalah bahwa mahar selain berupa uang juga tidak jarang berbentuk perhiasan emas. Masyarakat betawi dan sunda dalam tradisinya sangat mempertahankan kebiasaan memberikan perhiasan sebagai mahar.

Sesuai dengan konteks teoritis di atas, maka tema masalah studi ini adalah realitas mahar dalam konteks sosiologis masyarakat muslim Amuntai Kaliman-tan Selatan. Tema utama ini dirinci sebagai berikut (a) Bagaimana praktek mahar pada komunitas muslim? (b) Apakah praktek mahar berkorelasi secara signifikan dengan status sosial? Dan (c) Apa faktor-faktor sosiologis yang menentukan praktek mahar?

C. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah studi eksploratif-deskriptif untuk melihat praktek mahar di salah satu komunitas muslim dengan menggunakan pendekatan empiris. Wilayah studi difokuskan pada Kecamatan Amuntai Tengah, HSU, Kalimantan Selatan. Data yang digunakan bersumber dari dokumen pencatatan pernikahan yang tersedia di KUA Amuntai Tengah. Karena salah satu fokus studi ini berusaha menjelaskan tradisi mahar dalam lintasan waktu, maka data pernikahan yang digunakan dimulai dari tahun 1970 hingga 1997 (selama 27 tahun).(28) Setiap tahun diambil 10 kasus pernikahan yang diseleksi secara insidental. Dengan demikian, sampel studi berjumlah 270 kasus. Jumlah ini tentunya tidak cukup representatif jika dibandingkan dengan jumlah pernikahan yang setiap tahunnya tercatat berjumlah pada kisaran di atas 100 kasus di KUA Amuntai Tengah. Dari setiap kasus didata informasi berikut; yaitu variabel usia, pendidikan, pekerjaan, dan status marital suami-istri; jenis, jumlah dan status mahar.

Data diolah dengan menggunakan program statistik SPSS, untuk kemudian dianalisis secara kuantitatif. Uji-T (T-test) dan analisis varians digunakan untuk menguji variabel-variabel sosial yang terkait dengan praktek mahar dalam konteks sosiologis. Uji statistik inferensial akan dibuat untuk memastikan hasil uji-uji statistik deskriptif.

Tabel 1

Rata-rata Nilai Tukar  Dollar USA (US $) terhadap Rupiah menurut Tahun

Tahun

Rp.

Tahun

Rp.

Tahun

Rp.

Tahun

Rp.

1970

379,00

1977

415,17

1984

1030,08

1991

1957,63

1971

389,75

1978

446,42

1985

1114,83

1992

2037,12

1972

413,58

1979

630,79

1986

1282,85

1993

2096,29

1973

414,17

1980

631,78

1987

1649,55

1994

2170,61

1974

415,75

1981

636,58

1988

1692,20

1995

2256,16

1975

415,67

1982

666,40

1989

1772,14

1996

2342,27

1976

415,00

1983

894,29

1990

1849,99

1997

2403,00

Sumber   :   1. Biro Pusat Statistik, Kurs Valuta Asing dan Harga Emas di Jakarta 1996, 1997

2. Biro Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, 1997

Nilai nominal rupiah dapat bermasalah jika dipakai untuk melihat perubahan trend praktek mahar, karena nilai rupiah sangat berfluktuasi di pasar dunia. Setiap tahun nilai rupiah mengalami penurunan. Akibatnya, dengan perubahan tersebut, nilai rupiah tidak cukup akurat untuk dijadikan referensi guna melihat dinamika pergerakan trend perubahan yang menjadi fokus penelitian. Untuk mengatasi problem teoritis dimaksud, nilai rupiah mahar dikonversi ke mata uang dollar USA. Pilihan ini didasarkan pada konsep mata uang dunia yang menjadikan dollar USA sebagai satu-satunya mata uang yang tidak pernah dan tidak akan pernah didevaluasi. Jadi, nilai dollar akan stabil dalam lintasan waktu. Nilai dollar untuk konversi tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata harga rupiah yang beredar dan berkembang pada awal tahun. Daftar kurs nilai tukar dollar USA terhadap rupiah disajikan pada tabel 1 di atas.

D. Hasil Penelitian

Pertama akan disajikan profil sampel, kemudian berturut-turut disajikan hasil penelitian dan diakhiri dengan diskusi dan interpretasi terhadap hasil tersebut.

1. Profil sampel

Usia pengantin laki-laki dan perempuan masih cukup muda. Rata-rata usia pengantin laki-laki 26.43 tahun dengan simpangan baku 8.08 tahun, sementara rata-rata usia pengantin perempuan 21.76 tahun dengan simpangan baku 4.83 tahun. Besarnya angka simpangan baku pada data ini memperlihatkan adanya variasi usia pernikahan yang cukup tinggi di kalangan sampel, terutama di kelom-pok laki-laki. Ini artinya ada sampel yang berusia cukup tua ternyata masih melakukan pernikahan, dan ada perempuan dalam usianya yang sangat muda ternyata sudah menikah.

Status marital sampel menampilkan informasi yang menarik. Mayoritas (82.6 %) pengantin perempuan masih berstatus gadis, dan sisanya berstatus janda. Sementara itu, hanya 77.4 persen pengantin laki-laki yang masih berstatus jejaka, selebihnya (22.6 %) berstatus pernah menikah. Satu hal yang sangat menarik ternyata 2 persen sampel laki-laki berstatus beristri. Ini artinya mereka melakukan poligami. Walhasil, ± 2 persen dari keseluruhan kasus pernikahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pernikahan poligami.

Siapa menikahi siapa adalah pertanyaan yang menarik, karena “pasar” jodoh seseorang tidak random, tetapi lebih ditentukan sejumlah faktor sosial. Dalam kaitan ini, hanya ± 8 persen jejaka menikahi janda, dan lebih dari separo duda masih menikahi gadis. Sebaliknya, hanya 34 persen janda menikah dengan jejaka dan selebihnya menikah dengan duda atau menjadi istri poligami. Hanya 13.5 persen gadis menikah dengan duda atau menjadi istri kedua. Ini artinya bahwa jika status janda dan duda adalah predikat yang kurang baik dan berdampak pada hambatan menemukan pasangan hidup, sisi negatif dari predikat janda lebih dirasakan dibanding status duda. Hal ini terlihat dari besarnya proporsi duda yang masih dapat menikahi gadis; tetapi sebaliknya, hanya sedikit janda yang mendapatkan jejaka.

Satu fenomena menarik bahwa mayoritas perempuan yang mau dinikahi sebagai istri poligami ternyata berstatus janda. Kenyataan ini semakin mengu-atkan sinyalemen bahwa keberadaan status janda menyebabkan perempuan sulit untuk menghindari poligami jika mereka berniat menikah lagi. Kenyataan ini tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial yang kurang memberikan ruang dan kesempatan kepada perempuan untuk pro aktif mencari calon pasangan. Selama ini, hanya laki-laki yang dianggap mempunyai hak istimewa untuk memilih pasangan. Hal ini tidak terbantah terutama untuk komunitas muslim Amuntai. Sampai saat ini, tradisi dan sistem sosial masih menilai negatif pihak perempuan yang berinisiatif mengajak laki-laki untuk menikah. Cap buruk dilabelkan kepada perempuan yang berani menentang hegemoni kultural ini.

Tingkat pendidikan sampel tidak terlalu rendah. Grafik 1 memperlihatkan bahwa lebih dari separo dari sampel, baik laki-laki atau perempuan pernah mena-matkan pendidikan minimal SLTP. Secara komparatif, pendidikan pengantin perempuan umumnya lebih tinggi dibanding pendidikan laki-laki. Data juga memperlihatkan bahwa kesamaan tingkat pendidikan pasangan menjadi dasar pertimbangan penting untuk menentukan calon istri/suami. Dalam kaitan ini, laki-laki lebih sering menikahi (marry down) pasangan yang tingkat pendidikannya lebih rendah dari pendidikannya, sebaliknya, perempuan jarang melakukan per-nikahan ke bawah. Hal ini nampaknya ada kaitan dengan kesadaran superioritas laki-laki yang enggan untuk berpasangan hidup dengan “perempuan” yang melebihi keberadaannya. (29)

Grafik 2 menyajikan informasi tentang pekerjaan suami dan istri. Suami umumnya berasal dari keluarga tani dan dagang. Sementara itu, 45 persen pengantin perempuan masih ikut orangtuanya. Sebaliknya hanya sebagian kecil (2 %) pengantin laki-laki masih ikut orangtua. Data juga memperlihatkan bahwa seseorang tidak hanya mencari pasangan yang mempunyai tingkat pendidikan yang mirip dengan tingkat pendidikannya tetapi ia juga cenderung mencari pasangan yang mempunyai kultur dan struktur pekerjaan yang sama dengan pekerjaannya; petani menikahi petani; keluarga pedagang menikahkan anaknya dengan keluarga pedagang lainnya; dan pegawai negeri menikahi pegawai negeri. Tradisi ini akan terus melembagakan hegemoni kultur yang sangat tipikal dalam keluarga. Dengan kata lain, transformasi dan alih pekerjaan melalui jalur dan proses pernikahan nampaknya sulit diharapkan.

Keterangan : * Abri/Polri,        *PNS/guru/karyawan      *Dagang/sopir     *Tani/buruh

Grafik 3 menyajikan informasi tentang jenis mahar yang diberikan. Tradisi mahar dalam wujud uang sangat kental dalam praktek pernikahan di kalangan sampel penelitian ini. Hanya 3 % mahar diberikan dalam wujud yang menyim-bolisasikan makna agama, seperti seperangkat alat salat, dan Kitab Suci al-Qur’ân. Tidak ada mahar dalam wujud perhiasan. Fenomena mahar dalam bentuk simbol-simbol agama sebetulnya bukan realitas yang unik bagi masyarakat muslim Amuntai, karena sejak tahun 1970-an trend ini sudah muncul, namun frekuensinya tidak seintensif apa yang dipraktekkan di komunitas Sunda dan Betawi. Studi yang penulis lakukan di kecamatan Kalideres, Jakarta dengan 1200 sampel memperlihatkan bahwa  mahar dalam bentuk uang hanya berkisar 29 persen; 47 persen dalam bentuk perhiasan dan 24 persen lainnya dalam bentuk simbol-simbol keagamaan.(30)

Keterangan : *al-Qur’ân, dan perangkat alat salat

Besaran mahar dalam bentuk uang (dollar US $) yang diberikan sangat bervariasi. Tabel 2 berikut memperlihatkan rata-rata (mean) mahar uang berjumlah US. $ 147, dengan standar deviasi US. U$ 153. Nilai minimum mahar kurang dari sedollar, dan maksimum mencapai US. $ 1067. Ini artinya, ada kelompok masyarakat yang memberikan mahar dalam jumlah yang sangat besar, sementara lainnya ada yang memberikan mahar dalam jumlah yang sangat kecil.

Tabel 2

Rata-rata (Mean) dan Simpanan Baku Mahar (Dollar dan Rupiah)

No.

Model mahar

Rata-rata

Simpangan

Minimum

Makimum

1.

Rupiah

230,520

332,306

296

2,500,000

2.

Dollar

146.9

152.9

0.4

1,067

Keterangan : Diolah dari data primer

Trend besar mahar ini bervariasi menurut lintasan waktu. Korelasi koefisien (Pearson’s Correlation) menunjukkan model hubungan positif yang moderat (r .443) antara besaran mahar dan rentang tahun pelaksanaan pernikahan. Hubungan tersebut signifikan pada level satu persen. Dengan kata lain, ada trend baru yang berkembang bahwa jumlah mahar semakin membesar di pengujung tahun 1990-an. Peningkatan jumlah mahar ini nampaknya terkait langsung dengan perbaikan tingkat ekonomi Indonesia secara umum terutama di penghujung tahun 1980an dan sampai pertengahan tahun 1990-an, sebelum negera kita dilanda krisis moneter dan ekonomi yang sangat parah.

2. Mahar dan Status Sosial

Data pada sub-bagian ini menjelaskan hubungan antara mahar dengan status sosial. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis mahar berkorelasi secara signifikan dengan jenis pekerjaan istri. Uji asimetriatas menunjukkan hubungan yang sangat signifikan antara kedua variabel di atas. Kultur petani sebagai bagian terbawah dari stratifikasi sosial sangat kuat mempraktekkan tradisi mahar dalam bentuk uang. Kekentalan tradisi uang dalam pemberian mahar ini terus mencair seiring dengan perubahan status sosial seseorang yang diukur dengan ragam pekerjaan. Kelompok PNS-guru yang posisi sosialnya lebih tinggi dan terpandang di masyarakat, karena tingkat pendidikan mereka, semakin cenderung meninggalkan tradisi mahar dalam bentuk uang. Dengan kata lain, bentuk mahar ada kaitannya dengan status sosial.

Tabel 3

Jenis Mahar Berdasarkan Pekerjaan Istri

Jenis Pekerjaan

Jenis Mahar

Total

Uang

Perhiasan

Alat Salat/Qur’an

1.  Tani

99.2  (105)

0

0.8  (1)

106

2.  Pedagang

93.3  (14)

0

6.7  (1)

115

3.  PNS-Guru

88.5  (23)

0

11.5  (3)

26

4.  Ikut Orangtua

96.7 (118)

0

3.3 (4)

122

Jumlah

97 ( 260)

0

3 (9)

169

Catatan          : Uji asimetritas Nilai  Phi  =  0.217             P. =  < 0.05

Sumber : Diolah dari Data Lapangan

Uji silang (cross-checking) hubungan status sosial dengan indikator tingkat pendidikan dan jenis mahar sulit dilakukan karena kecilnya (60 kasus) jumlah sampel yang tersedia. Buku registrasi pencatatan pernikahan baru mulai tahun 1992 mencantumkan variabel tingkat pendidikan suami-istri. Namun secara umum, dengan data yang terbatas di atas terlihat bahwa konsisten temuan seperti yang disajikan pada tabel 3 terdahulu dikuatkan kembali. Dengan kata lain, kultur mahar dalam wujud uang dan simbol agama memiliki karakternya sendiri-sendiri jika dilihat dari dimensi struktur sosial. Tetapi bagaimana besaran mahar tersebut jika dilihat dari struktur sosial, dan apakah ada variasi besaran mahar menurut variabel status sosial, beberapa tabel 4-8 berikut memberikan informasi untuk tujuan analisis dimaksud. Uji anova (variance) dan Uji-T (T-Test) akan disajikan pada bagian ini.

Tabel 4 memberikan data tentang variasi jumlah mahar (US. $) menurut variabel pekerjaan suami. Dari tabel ini terlihat bahwa ada variasi jumlah mahar dilihatkan dari faktor pendidikan suami. Nilai F. rasio (8.818) menun-jukkan bahwa variasi tersebut signifikan pada level satu persen.

Tabel  4

Uji Variansi-One-Way Anova Jumlah Mahar Uang (US $) dan Pekerjaan Suami

Sum of          Mean           F             F

Source                      D.F.             Squares           Squares          Ratio           Prob.

Between Groups          4                  735,469          183,867         8.818          .000

Within Groups            254            5,295,977          20,850

Total                            258            6,031,447

Sumber   : Diolah dari Data Lapangan

Konsisten variasi jumlah mahar seperti yang ditampilkan pada tabel 4 juga dikuatkan oleh data yang disajikan pada tabel 5. Variasi jumlah mahar yang sangat signifikan terlihat dalam konteks perbedaan jenis pekerjaan istri. Dengan kata lain, secara statistik, jumlah mahar sangat berkaitan dengan ragam pekerjaan seseorang, baik pekerjaan suami maupun istri. Oleh sebab itu, variabel jenis pekerjaan sangat akurat untuk memprediksi jumlah mahar yang akan diberikan dan diterima oleh calon pengantin di wilayah Amuntai Tengah.

Tabel  5

Uji Variansi-One-Way Anova Jumlah Mahar Uang (US $)dan Pekerjaan Istri

Sum of          Mean           F             F

Source                      D.F.             Squares           Squares          Ratio           Prob.

Between Groups          3                 965719            321906          16.2            .000

Within Groups            256            5087058            19871

Total                            259            6052777

Sumber   : Diolah dari Data Lapangan

Tabel 6 kembali menguji konsisten temuan tentang variasi jumlah mahar seperti yang ditampilkan pada tabel 4-5 di atas. Dalam konteks ini, variasi jumlah mahar tidak signifikan jika dilihat dari variabel tingkat pendidikan suami. Ini artinya, variabel tingkat pendidikan suami tidak akurat untuk menje-laskan variasi besaran mahar dalam pernikahan. Atau dapat juga dikatakan bahwa tingkat pendidikan suami tidak menentukan besaran jumlah mahar yang dia berikan.

Berbeda dengan tabel 6, tabel 7 memperlihatkan bahwa besaran mahar sangat bervariasi dilihat dari variabel tingkat pendidikan istri. Nilai F (6.054) adalah signifikan pada level satu persen. Ringkasnya, status sosial, kecuali apa yang diuji dengan variabel tingkat pendidikan suami, sangat menentukan jumlah mahar yang diberikan dan diterima pengantin. Walhasil, variabel status sosial yang diukur dengan tingkat pendidikan istri, dan pekerjaan suami-istri sangat erat kaitannya dengan besar mahar.

Tabel  6

Uji Variansi-One-Way Anova Jumlah Mahar Uang (US $)dan Pendidikan Suami

Sum of          Mean           F             F

Source                      D.F.             Squares           Squares          Ratio           Prob.

Between Groups          5                  130,512          43,504           1.121          .348

Within Groups             55             2,134,144          38,802

Total                             58             2,264,656

Sumber           : Diolah dari Data Lapangan

Melalui uji korelasi Spearman –karena tingkat pendidikan dan pekerjaan diranking secara ordinal(31)– terlihat adanya hubungan positif yang signifikan antara besaran jumlah mahar dengan tingkat status sosial. Namun demikian, jenis pekerjaan suami berkorelasi sangat lemah (r = .17) dengan besaran mahar, sedangkan pekerjaan (r = .37) dan pendidikan istri (r = .33) berkorelasi moderat dengan besaran mahar. Oleh sebab itu, secara tentatif dapat disimpulkan bahwa status sosial perempuan (baca keluarga) sangat akurat untuk menjelaskan praktek mahar di masyarakat muslim Amuntai Tengah.

Tabel   7

Uji Variansi-One-Way Anova Jumlah Mahar Uang dan Pendidikan Istri

Sum of          Mean           F             F

Source                      D.F.             Squares           Squares          Ratio           Prob.

Between Groups          3               562213              187404              6.054      .001

Within Groups               55             1702443          30953

Total                               58           2264656

Sumber   : Diolah dari Data Lapangan

Status sosial dapat dibedakan paling tidak berdasarkan status marital. Studi sosiologi hukum memperlihatkan bahwa status kejandaan membuat seorang perempuan mengalami banyak kesulitan dalam pasar jodoh.(32) Dalam hal ini ada kecenderungan yang kuat bahwa fenomena pernikahan beda agama sangat dominan di kalangan perempuan yang pernah menikah dibanding di lingkup mereka yang belum pernah menikah. Dalam kaitan ini, tabel 8 menyajikan hasil uji T tentang besaran mahar dilihat dari status marital perempuan. Dari tabel ini terlihat jelas bahwa besaran mahar gadis 3 (tiga) kali lebih besar dibanding jumlah mahar pengantin yang berstatus janda. Perbedaan nilai rata-rata jumlah mahar tersebut signifikan pada level satu persen. Ini artinya, variabel status marital perempuan sangat akurat untuk memprediksi praktek mahar di masyarakat muslim Amuntai.

Tabel   8

Uji T tentang Jumlah Mahar Uang menurut Status Marital Istri

Standar      Selisih

Status  Marital        N              Mean              Deviasi            Mean               F                Prob.

Gadis                  215           166.6              157.8              114.3          16.535          .001

Janda                    45             52.3                72.7

Total                   260           146.9         152.9

Sumber   : Diolah dari Data Lapangan

Tabel  perbadingan di atas juga memperlihatkan aspek lain. Dalam hal ini, mengacu pada standar deviasi untuk masing-masing kelompok sampel independen, besaran mahar pengantin yang berstatus gadis relatif lebih merata (karena standar deviasinya lebih kecil dibanding nilai mean-nya) dibanding jumlah mahar janda. Bagaimana hasil penelitian ini dijelaskan dalam kerangka sosiologi hukum, pembahasan berikut berusaha mengkritisi hasil penelitian di atas.

E. Diskusi dan Interpretasi

Berdasarkan temuan-temuan yang disajikan pada pokok bahasan terda-hulu, adalah perlu didiskusikan lebih jauh kenapa dan bagaimana mekanisme variabel sosial dan kultural sangat menentukan corak praktek mahar di masyarakat muslim di Amuntai Tengah, HSU, Kalimantan Selatan.

Pertama, praktek mahar erat kaitannya dengan jenis pekerjaan seseorang (baik pengantin laki-laki atau perempuan). Dalam hal ini, tradis mahar dalam wujud uang identik dengan kultur masyarakat tani dan dagang; dua kelompok masyarakat yang dapat dilihat sebagai bagian utama dari kelas sosial terbawah. Temuan pola mahar seperti ini dapat dijabarkan dari perspektif pragmatisme-ekonomi. Kecende-rungan masyarakat kelas bawah yang diindikasikan dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan untuk memilih uang sebagai mahar harus difahami dari dan dengan logika pemenuhan terhadap kebutuhan dasar. Kesadaran dan harapan masyarakat kelas bawah umumnya sangat sederhana yang tergambar dari tradisi praktis di atas.

Bagi masyarakat kelas bawah, persoalan yang terpenting adalah upaya memenuhi segala kebutuhan dasar yang biasanya harus diatasi secara sederhana, praktis dan instan dengan uang. Sejauh uang dengan cepat dan ringkas dapat dikonversi untuk menjadi alat tukar guna memenuhi kebutuhan dasar seseorang, maka uang mempunyai nilai praktis yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan perhiasan (apalagi perangkat alat salat dan al-Qur’an). Artinya, untuk menjadikan perhiasan sebagai alat tukar, maka pemilik perhiasan tersebut harus terlebih dahulu menjualnya untuk kemudian baru dia dapat dengan mudah menggunakan uang hasil

penjualan tersebut sebagai alat tukar perdagangan. Dari sisi ini, perhiasan tidak memiliki nilai praktis-pragmatis yang tinggi, sedang segala bentuk yang menjadi simbol agama sama sekali tidak memiliki nilai ekonomis. Akibatnya, di masyarakat yang masing sangat kuat mempertahankan budaya material, maka uang akan tetap menjadi pilihan utama, dan tidak dapat dikonpensasi dengan benda-benda yang bersimbol keagamaan. Tafsiran ini sejalan dengan masih kuatnya kultur uang sebagai alat tukar dan simbol status sosial seseorang di komunitas muslim Amuntai.

Kedua, praktek mahar lebih ditentukan oleh variabel status sosial perempuan dibanding status sosial laki-laki. Hal ini harus dipahami dari kultur dan struktur sosial masyarakat banjar. Sudah menjadi bagian dari tradisi yang hegemonik di komunitas banjar bahwa walaupun jumlah mahar dapat dimusya-warahkan antara kedua calon pengantin laki-laki dan perempuan (baca keluarga), namun keluarga perempuan (bukan calon pengantin perempuan sendiri) adalah sebagai pihak yang paling menentukan bentuk dan besaran mahar. Tidak jarang proses pernikahan dibatalkan hanya karena tidak ada kesepakatan besaran mahar pada tahapan bapi-pintaan (istilah banjar yang digunakan untuk menjelaskan proses tawar-menawar mahar setelah lamaran diterima).

Orang dapat saja memaknai nilai sosial mahar secara beragam. Namun umumnya dapat disepakati bahwa besaran mahar merupakan salah satu indeks status sosial seseorang. Tampilan wajah boleh buruk, tetapi jika seorang perempuan berasal dari keluarga terhormat,(33) dapat dipastikan bahwa jumlah mahar akan besar. Besaran mahar ini dapat dijelaskan dari nilai simbolik dan praktisnya. Secara praktis, mahar biasanya dijadikan kapital utama bagi pasangan baru untuk menyiap-kan kehidupan rumah tangganya. Secara sosial-kultural, mahar di komunitas muslim Amuntai biasanya digunakan untuk membeli perangkat tempat tidur dan persiapan resepsi pernikahan lainnya. Semakin besar jumlah mahar, maka semakin leluasa calon pengantin perempuan dan keluarganya dapat membeli segala kebutuhan untuk persiapan perayaan pernikahan. Sejuah kamar pengantin seringkali dijadikan ajang pertunjukkan gengsi atau prestise sosial seorang perempuan, termasuk keluarganya, maka kesadaran ideologis kelas sosial ini akan selalu memotivasi seseorang untuk mendapatkan jumlah mahar yang besar.

Selain itu perlu dicatat bahwa hampir untuk setiap kasus pernikahan, anggota warga masyarakat sudah terbiasa membicarakan harga mahar dari pengantin yang mereka rayakan. Oleh sebab itu, kecil-besarnya mahar sering disebut-sebut. Dalam konteks ini, tidak jarang banyak orang yang mencibir atau mencemooh satu keluarga yang menentukan harga mahar yang terlalu rendah. Secara keagamaan, besaranya jumlah mahar memang tidak ditentang dalam Islam. Bahkan dalam fiqh dikenal dengan istilah mahr mitsl (mahar semisal); yaitu jumlah mahar yang disesuaikan dengan kebiasaan jenis dan besaran mahar yang diberikan sesuai dengan status sosial seseorang. Namun satu hal yang membedakan konsep ideal mahar dalam Islam dan dalam praktek komunitas tertentu bahwa dalam praktek keseharian di banyak masyarakat, pemaknaan mahar lebih menekankan aspek status sosialnya, atau dimensi profannya. Oleh sebab itu, semakin kesadaran akan status sosial menghantui ideologi seseorang, maka dorongan untuk menginginkan (memberi dan menerima) jumlah mahar yang besar akan terus hidup di masyarakat. Bahkan mengacu pada hasil studi ini, mahar dalam tradisi masyarakat muslim Amuntai masih akan terus lebih dimaknai sebagai indeks status sosial ketimbang penegasan dimensi moral dan spiritualnya.

Ketiga, seperti yang dipaparkan dalam kerangka teoretis, kewenangan untuk menentukan segala hal yang terkait dengan proses pernikahan tidak secara absolut berada pada tangan kedua calon mempelai. Dalam hal ini, norma untuk menentukan  jumlah mahar  masih melingkar pada siklus kuatnya dominasi  keterlibatan orangtua dalam menentukan perencanaan pernikahan anak-anaknya. Sampai di penghujung tahun 1970-an, bahkan sekarang, tradisi pernikahan melalui lembaga perjodohan keluarga di Amuntai masih sering dipraktekkan, terutama di daerah pedesaan. Secara ideologis, status sosial keluarga melalui ntervensi keluarga tidak dapat dihindarkan untuk dijadikan bahan pertimbangan bagaimana seorang anak terutama anak gadis menentukan jenis dan jumlah mahar pernikahan. Artinya, untuk meneliti realitas praktek mahar secara empiris, terutama dari perspektif sosiologi hukum Islam, variabel status sosial keluarga (status sosial perempuan) harus dilibatkan dalam rancang bangun model analisis ilmiah, karena faktor ini sangat menentukan corak perwajahan praktek mahar di masyarakat seperti juga apa yang telah ditemukan Korson pada penelitiannya di komunitas muslim Pakistan.

Keempat, berkembangnya trend penggunaan perangkat salat dan al-Qur’an sebagai mahar merupakan fenomena yang menarik walaupun kasus seperti ini sudah pernah terjadi di zaman Rasulullah. Namun apa yang menarik adalah munculnya trend pergeseran dalam tradisi mahar dari uang (kebendaan yang bernilai praktis) ke arah penggunaan simbol-simbol agama sebagai mahar. Fenomena ini dapat dilihat dari peta global dalam hal polarisasi keberaga-maan di masyarakat luas. Sering disinyalir tentang semakin semaraknya aktivitas keagamaan di kalangan generasi muda, dan hal ini memang tidak dapat dipungkiri karena banyak fakta yang mendukungnya. Dalam setting inilah orang menjadi terdorong untuk menggunakan simbol-simbol keagamaan sebagai mahar. Logika-nya cukup sederhana. Seiring dengan muncul dan berkembangnya kesadaran akan pentingnya peranan agama dalam kehidupan seseorang maka pemberian hal-hal yang berbau simbol keagamaan di awal pernikahan (pada saat yang sangat bersejarah) dapat menyadarkan kedua calon mempelai untuk selalu hidup rukun dalam naungan payung ilahiah yang tersimbolisasikan melalui instrumen salat dan kitab suci.

Terakhir, kenapa besaran mahar sangat terkait dengan status marital perempuan? Dalam hal ini, besaran mahar janda secara statistik jauh lebih kecil dibanding dengan mahar gadis (belum pernah menikah). Secara teoritis hal ini dapat dijelaskan dengan mengacu pada sistem sosial dan ideologi patriarki. Secara ideologis, masyarakat muslim Amuntai yang umumnya sangat patriarkis tidak memberikan ruang kebebasan yang besar kepada perempuan untuk menentukan kehidupannya, terlebih lagi kepada janda. Ruang gerak janda sangat terbatas. Sorotan sosial dan kultural selalu mengawasi setiap pergerakan janda. Label buruk dan stigmasasi lumrah ditujukan kepada janda yang lincah. Ada istilah perempuan “gatal” untuk menunjuk janda yang mobile dalam kehidupannya. Secara kultural adalah sungguh tidak terhormat jika ada perempuan yang kasak-kusuk berinisiatif mencari pasangan hidupnya. Akibatnya, posisi tawar perempuan sangat lemah di kancah pasar jodoh. Perempuan dipaksa oleh kultur, keadaan dan sistem sosial seperti ini untuk terus menunggu dan terus menunggu jodohnya; bahkan terkadang harus menerima lamaran lelaki yang sudah beristri. Nasib tragis perempuan, terutama janda, tidak berhenti sampai di sini. Secara kultural, perempuan umumnya tidak terlalu dilibatkan dalam proses negosiasi penentuan besaran mahar. Keluargalah pihak yang paling berperan di sini. Karena sering didera oleh ketakutan akan rasa malu, pihak keluarga tidak jarang mendorong anak jandanya walaupun dengan mahar yang rendah.

Di sisi lain, status janda adalah predikat yang dimaknai sebagai indikator kegagalan berumah tangga, dan masayarakat masih cenderung menyalahkan pihak perempuan untuk setiap kali ada kasus perceraian terlepas apapun faktor pemicu-nya. Stereotipe seperti ini akan terus menyudutkan perempuan pada posisi tawar-menawar jodoh, terutama mahar. Akibatnya, kepasrahan menjadi tak terelakkan dalam kehidupan perempuan ketika menentukan jodohnya dengan status jandanya. Kelakar pejoratif (miring) masih sering terdengar bahwa “kalau ada lelaki –walaupun sudah tua renta– yang mau menikahi janda, itu sudah untung”. Stigmatisasi status janda tergambar pada cara masyarakat muslim Amuntai merayakan resepsi pernikahan seorang janda. Perayaan pernikahan janda umumnya dilakukan malam hari dengan persiapan yang sangat sederhana. Keadaan sulit seperti ini barangkali menjadi penyebab utama kenapa banyak janda merelakan jodohnya ke tangan lelaki yang sudah beristri seperti apa yang terlihat pada hasil penelitian penulis pada masyarakat muslim di Jakarta. Banyak janda terpaksa menerima nasib sebagai istri muda, karena dia dengan status kejandaannya sulit untuk mengharapkan model ideal pernikahan monogami. Dengan posisi tawar (ideologis dan sosial) seperti ini, maka perempuan sulit menetapkan standar ideal untuk memenuhi kebutuhan pernikahannya. Hal ini yang nampaknya bisa menjelaskan kenapa mahar janda jauh lebih murah ketimbang mahar gadis.

F. Kesimpulan

Dari sajian data dan analisis di atas, ada beberapa butir kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, walaupun fiqh, hukum Islam memberikan kelonggaran praktek mahar, pemberlakuan hukum mahar tidak secara random berlaku di masya-rakat. Praktek mahar sarat dengan kepentingan dan pesan sosial dan ideologis. Ulama boleh saja lebih memaknai mahar dari simbol spiritual dan moralnya, namun secara praktis, pragmatis, bahkan ideologis, masyarakat muslim umumnya lebih menjadikan mahar sebagai indeks status sosial. Kuatnya budaya material telah memberi andil besar terhadap proses despiritualisasi lembaga mahar dalam Islam.

Kedua, sinyalemen pertama di atas mengimplikasikan bahwa praktek mahar di masyarakat muslim bukan sebuah variabel independen yang berdiri sendiri. Faktor-faktor sosial-kultural serta ideologis memainkan peranan yang sangat signifikan dalam mengkonstruksi tradisi dan praktek mahar. Orang boleh (umumnya ahli hukum normatif) saja terus berkhutbah bahwa doktrin mahar dalam Islam lebih menekankan aspek spiritual-moral. Namun fakta berbicara lain. Ada kesenjangan antara idealitas dan realitas hukum mahar pada tataran praktis. Hukum lahir dari kultur “kesalehan” dan kehati-hatian (ihtiyâth) ulama dan para pencetus hukum lainnya, tetapi sekarang, ia jatuh ke tangan dan semangat “kesalahan” yang lebih mematerialisasi dimensi mahar. Akibatnya, praktek hukum tidak jarang mengalami distrosi dan reduksi berupa pemangkasan nilai-nilai kesakaralannya.

Butir terakhir ini mengharuskan kita untuk selalu mengkritisi hukum dalam bingkai sosial-kultural. Hukum adalah satu bagian dari fakta sosial. Akibatnya ada interdependensi antara hukum dengan struktur sosial lainnya. Oleh sebab itu, penulis sependapat dengan sejumlah pakar sosiologi dan antropologi hukum yang mengatakan bahwa sebuah sistem hukum, tak terkecuali sistem dan tata hukum yang bersumber ajaran ilahiah seperti hukum Islam, dalam prakteknya, selalu mengalami proses tawar-menawar dengan preskripsi-preskripsi sosial-kultural. Dalam bahasa Lawrence Friedmann, keberadaan hukum sangat ditentukan oleh kultur hukum. Apa yang dimaksud dengan kultur hukum disini tidak lain adalah totalitas faktor sosial, kultural dan juga politik yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dan kondusif dalam kerangka budaya masyarakat tertentu.(34)

Oliver W. Holmes, Jr. mensinyalir bahwa “the life of law has not been logic; but it has been experience(35) (kehidupan hukum bukanlah logika, tetapi lebih sebagai rangkaian pengalaman berupa hasil pergumulan dan tawar-menawar kekuatan sosial, kultural, politik, bahkan agama). Jika pemikiran Holmes kita terima sebagai satu teori atau pendekatan hukum, maka ada implikasi logis (teoritis dan praktis) yang harus dibangun dan dikembangkan di akhir tulisan ini. Pertama, normativisasi pendekatan untuk memahami hukum dalam hal ini norma mahar telah menyerabut hukum itu sendiri dari sumber kehidupannya; hukum lahir dari roh sosialnya, atau volksgeist, demikian kata von Savigny, seorang pioner sosiologi hukum yang beraliran sejarah. Akibatnya, dalam konteks analisis seperti ini, banyak hukum telah kehilangan “roh” atau jiwa sosial yang dapat “menghidupinya”. Bukankah Benjamin N. Cardozo, seorang mantan hakim Amerika Serikat, telah mengingatkan para intelektual hukum bahwa perkembangan hukum ditentukan serangkaian aspek sosial-kultural, di mana keberadaan hukum, termasuk perilaku fungsionarisnya, dipengaruhi visi masyarakat luas mengenai adat-istiadat serta moralitas. Bahkan Karl N. Llewellyn dengan mengikuti logika mazhab sejarah ala rintisan von Savigny lebih jauh menegaskan bahwa hukum merupakan suatu bagian dari kebudayaan yang telah melembaga. Akibatnya, analisis hukum tidak dapat menyerabutnya dari unsur-unsur diskursif dan konstruktifnya. Dalam hal ini, secara sosiologis, hubungan antara hukum dan masyarakat seperti dua sisi mata uang, yang keberadaan makna salah satu sisinya sangat ditentukan oleh nilai sisi yang lain.

Terakhir, penelitian ini mengajarkan kepada kita bahwa dimensi yuridis-formal suatu hukum tidak dengan serta-merta dapat menjadikannya sebagai peraturan yang efektif, langsung akan ditaati. Penerimaan sosial terhadap hukum mengikuti alur dan nuansa logikanya sendiri. Paling tidak, satu hal yang tidak dapat diabaikan dari penelitian ini adalah pemikiran yang telah digagas Friedmann. Dia menilai bahwa keberadaan sebuah peraturan hukum harus dicermati dalam bingkai interdependensi tiga komponen hukum, yaitu aspek (a) substansial, (b) struktural dan (c) kultural. Secara empiris seperti apa yang telah diperlihatkan dalam penelitian ini, dimensi kultural bahkan sangat determinan. Penulis telah mengelaborasi dimensi budaya hukum ini dalam tulisan lainnya yang berjudul “Budaya Hukum: Melintas Batas Formalisme-Yuridis” yang akan terbit di Era Hukum, jurnal Ilmiah Ilmu Hukum [NA].

Pamulang, Tangerang, Medio Oktober 2002


Catatan Akhir

1 Analisis sosiologi hukum memperlihatkan bahwa faktor-faktor sosial-struktural berpengaruh  kuat terhadap realitas hukum. Bagaimana aspek sosial-struktural berpengaruh terhadap aplikasi hukum Islam, lihat umpama Noryamin Aini, “Realitas Kejahatan di Masyarakat: Sebuah Analisis tentang Fungsi Hukum Pidana Islam Menekan Angka Kejahatan”, Era Hukum: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, No. 8, Tahun 2/April 1996.

2 Nyaris setiap komunitas memberikan pemaknaan yang berbeda terhadap istilah mahar. Walaupun dasar pijakan adalah teks-teks suci, variasi pemaknaan tersebut tidak dapat dihindarkan mengingat secara antropologis pemaknaan ajaran suci tidak dapat dicerabut dari akar kontekstual.

3 Henry J. Korson, “The Roles of Dower and Dowry as Indicators of Social Change in Pakistan”, dalam Journal of Marriage and the Family, (1968), Vol. XXX, No.4.

4 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 2-5. Elaborasi tentang penggunaan pendekatan simbolik di atas dapat dilihat pada Noryamin Aini, “Qabil dan Habil; Dari Cerita al-Qur’an ke Sosiology Agama”, dalam Menentang Hegemony Barat, Deden Ridwan, ed., (Bandung: Mizan, 1999).

5 Hart memisahkan hukum dan moral, dan dia menambahkan  bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar atau dibuat individu atau lembaga yang berkuasa. Dengan kata lain, dia menekankan keharusan hukum memiliki dimensi yuridis. (H.L.A.Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Legal Review, (1958), hlm. 71; The Concept of Law, Oxford: Oxford University Press, 1961; Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1988; Thomas Morawetz, The Philosophy of Law: An Introduction, New York: MacMillan Publishing Co. Inc., 1980).

6 as-Samaluthi, Ibid, h. 215; Muhammad, Abu Zahrah., Membangun Masyarakat Islami, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 82)

7 Zahrah, Ibid,; Hammudah, ‘Abd al-‘Ati, The Family Structure in Islam, (Indianapolis: American Trust Publication, 1977).

8 Bagi Fatima Mernissi seperti yang disosialisasikan Jalaluddin Rakhmat, berkembangannya semangat dan ideologi patriarki di masyarakat muslim sebagai kegagalan proyek emansipatoris Rasulullah saw. yang diganjal oleh cara hidup Umar bin Khattab, terutama, yang sangat patriarkhal. Untuk diskusi lebih kritis-komprehensif, lihat Fatima Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Inquiry, (Oxford: Basil, 1991); Jalaluddin Rahmat, “Dari Psikologi Androsentris ke Psikologi Feminis”, dalam Ulumul Qur’an, (1994), Vol. V, Edisi Khusus, No. 5-6

9 al-‘Ati, Ibid; M. Afzal Wani, The Islamic Institution of Mahr: A Study of Its Philosophy, Working and Related Legislations in the Modern World, (Noonamy, Kashmir, Upright Study Home, 1996).

10 Secara sosiologis, masyarakat sangat beragam dalam memberikan nilai sosial dan ekonomi anak. Pada komunitas tertentu, anak (perempuan) dipandang sebagai aset keluarga terutama jika dihubungkan dengan jumlah materi yang telah dikeluarkan keluarga untuk biaya membesarkannya. Sementara itu, mayoritas masyarakat masih memberikan penekanan nilai sosial yang lebih besar kepada anak laki-laki ketimbang anak perempuan (lihat iklan layanan masyarakat tentang pendidikan yang dibintangi oleh “keluarga si-Doel”. Dalam iklan tersebut dikatakan si Asep, anak laki-laki, akan diseko-lahkan saja, sementara si Neng disuruh membantu ibunya di toko atau dikawinkan. Pemaknaan sosial-kultural terhadap anak ini berimplikasi terhadap konstruksi hukum perempuan. Analisis gramatologis dan hermeunetik tentang pemaknaan dalam konteks pembacaan ulang teks-teks suci (skriptual), lihat Noryamin Aini, “Jender dalam Diskursus Keislaman (Relasi Jender dalam Pandangan Fiqh)”, Refleksi; Jurnal Kajian agama dan Filsafat, (2001), Vol. III, (1); Peningkatan Status Perempuan dalam Realitas Hukum Negara Berdasarkan Substansi al-Qur’an, paper dipresentasikan pada seminar nasional tentang “Bias Gender dalam Penafsiran al-Qur’an” yang diselenggarakan Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Jakarta, tanggal 28 Mei 2002, di Hotel Indonesia, Jakarta.

11 Pendekatan ini sangat dominan dalam kajian sosiologi yang sangat mensig-nifikansikan kontribusi sistem sosial, tradisi dan kultur dalam mengonstruksikan dan menginstitusionalisasikan mahar ini di masyarakat.

12 al-‘Ati, Ibid, h. 67

13 Reuben Levy, The Social Structure of Islam, terj. (Cambridge: The University Press, 1962)

14 Menurut informasi yang memang perlu ditelusuri lebih jauh kebenarannya, di Saudi Arabia, seorang lelaki yang mau mempersunting seorang gadis harus menyiapkan rumah, lengkap dengan seisinya, bahkan ditambah lagi dengan seperangkat perhiasan dan peralatan rumahtangga.

15 Zahrah, Ibid, h. 81

16 Johh L.Esposito, Women in Muslim Family Law, (New York: Syracuse University Press, 1982), h.24

17 as-Samaluthi, Ibid, h.  210

18 Tetapi dalam tradisi Bajapuik Pariaman Sumatera Barat, pihak perempuan membayar sejumlah uang (sejenis mahar, dowry) kepada calon suaminya dengan jumlah yang disesuaikan dengan status sosial yang disandangnya. Semakin tinggi status sosial calon suami, semakin besar jumlah materi pembayaran tersebut). Welhendri Azwar, Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h.  5

19 Zahrah, Ibid, h. 81, Esposito, Ibid

20 Henry J. Korson, “Dower and Social Class in an Urban Muslim Community”, dalam Journal of Marriage and the Family, (1967) Vol. XXIX, No.3.

21 Esposito, Ibid; Korson, 1967

22 Esposito Ibid,  87

23 Hildred, Geertz, The Javanese Family: A Study of Kindship and Socialization, (New York: The Free Press of Glencoe, 1961).

24 Untuk diskusi yang lebih komprehensif tentang stratifikasi sosial dan status sosial, lihat buku anotasi yang diedit oleh David B. Grusky, Social Stratification: Class, Race, and Gender in Sociological Perspective, (Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1994); Kaare Svalastoga, Diferensiasi Sosial, terj. (Jakarta: Bina Aksara, 1989); Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta; Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993); Iwan Gardono Sujatmiko, “Stratifikasi Sosial dan Mobilitas Sosial”, dalam Jurnal Sosiologi Indonesia, No. 1, 1996..

25 Clifford, Geertz, The Religion of Java, (Glencoe: Free Press, 1960); Islam Orserved; Religious Development in Marocco and Indonesia, (Chicago: University of Chicago Press, 1968).

26 Seperti apa yang terungkap dalam sebuah wawancara penelitian kami, di Indramayu dikenal istilah “nikah penglaris”, yaitu sejenis pernikahan simulasi (main-main) yang durasinya sangat pendek, bahkan tidak sampai seminggu, dan bertujuan hanya untuk mendapatkan status janda. Bagi mereka, status janda dinilai positif, apalagi jika mereka kemudian dapat berkali-kali menikah. Dengan multiplikasi pernikahan tersebut mereka beralasan bahwa diri mereka “laku keras” dan ini menjadi satu kebanggaan tersendiri.

27 Noryamin Aini, Mahar dan Status Sosial di Masyarakat Muslim Kalideres, Jakarta, Laporan Penelitian, (Jakarta: Pusat Penelitian, IAIN Syraif Hidayatullah Jakarta, 1999).

28 Studi yang menjadi acuan tulisan ini penulis lakukan tahun 1998. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Amuntai Tengah, terutama saudara Anwar Sutera Ali yang telah membantu pengumpulan data. Tetapi segala kekurangan dari hasil studi ini merupakan tanggungjawab pribadi penulis.

29 U.Bambawale dan A. Ramanama, “Mate Selection in Inter-Religious Marriages: An Indian Perspective”, Indian Journal of Social Work, Vol. 42, 1981.

30 Noryamin Aini, Ibid, hal, 35.

31 Untuk acuan dasar matriks model analisis statistik yang disesuaikan dengan level pengukuran variabel lihat D.A., de Vaus, Surveys in Social Research,  (Sydney, Allen & Unwin, 1989).

32 Noryamin Aini, A Sociological Analysis of Religious Intermarriage in Yogyakarta, Indonesia, Unpub-lished Master Thesis, the Department of Sociology, The Flinders University, Australia Selatan, 1995.

33 Struktur masyarakat muslim Amuntai tidak banyak dipengaruhi oleh tradisi kerajaan, karena memang tidak ada kerajaan yang berpengruh kuat di sana. Akibatnya pembedaan status sosial seseorang tidak didasarkan pada garis darah keturunan seperti yang lumrah terjadi di Kraton Jawa “High Land” seperti Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat Amuntai sangat egaliter, dan sangat menghargai status keulamaan (tuan guru, bhs. banjar), dan menempatkannya pada posisi stratifikasi sosial yang sangat tinggi, dan terkadang disejajarkan dengan para pejabatan pemerintah, bahkan melebih posisi sosial seseorang yang didasarkan pada indeks kekayaan. Selain itu, status pegawai negeri biasa (pegawai kantoran), dan guru cukup dihormati. Selebihnya, profesi polisi dan Abri tidak begitu memasyarakatkan dalam tradisi pekerjaan masyarakat Amuntai.

34 Friedmann mengatakan bahwa “legal culture can be defined as those attitudes and values that related to law and the legal system, together with those attitudes and values affecting behavior related to law and its institutions, either positively or negatively. … The legal  culture, then, is a general expression for the way the legal system fits into the culture of the general society. (Lawrence Friedmann, “On Legal Development”, Rutgers Law Review, 1969, Vol. 24,  hlm. 28-29).

35 Dikutip dari Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985, hlm.28.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Noryamin, Peningkatan Status Perempuan dalam Realitas Hukum Negara Berdasarkan Substansi al-Qur’an, paper dipresentasikan pada seminar nasional tentang “Bias Gender dalam Penafsiran al-Qur’an” yang diselenggarakan Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Jakarta, tanggal 28 Mei 2002, di Hotel Indonesia, Jakarta.

______, “Jender dalam Diskursus Keislaman (Relasi Jender dalam Pandangan Fiqh)”, RefleksiJurnal Kajian agama dan Filsafat, Vol. III, (1), (2001)

______, “Qabil dan Habil; Dari Cerita al-Qur’an ke Sosiology Agama”, dalam Menentang Hegemony Barat, Deden Ridwan, ed., (Bandung: al-Hidayah, 1999-a).

______, Mahar dan Status Sosial di Masyarakat Muslim Kalideres, Jakarta, Laporan Penelitian, (Jakarta: Pusat Penelitian, IAIN Syraif Hidayatullah Jakarta, 1999-b).

______, “Realitas Kejahatan di Masyarakat: Sebuah Analisis tentang Fungsi Hukum Pidana Islam Menekan Angka Kejahatan”, Era Hukum: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, No. 8, Tahun 2/April (1996).

______, A Sociological Analysis of Religious Intermarriage in Yogyakarta, Indonesia, Unpub-lished Master Thesis, the Department of Sociology, The Flinders University, Australia Selatan, (1995).

Azwar, Welhendri, Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik, (Yogyakarta: Galang Press, 2001).

‘Ati, al, Hammudah, ‘Abd, The Family Structure in Islam, (Indianapolis: American Trust Publication, 1977).

Bambawale, U. dan A. Ramanama, “Mate Selection in Inter-Religious Marriages: An Indian Perspective”, Indian Journal of Social Work, Vol. 42, (1981)

de Vaus, D.A., Surveys in Social Research,  (Sydney, Allen & Unwin, 1989).

Esposito, John, L. Women in Muslim Family Law, (New York: Syracuse University Press, 1982).

Friedmann, Lawrence “On Legal Development”, Rutgers Law Review, Vol. 24,  (1969).

Geertz, Clifford, Islam Orserved; Religious Development in Marocco and Indonesia, (Chicago/ London: University of Chicago Press, 1968).

______, The Religion of Java, (Glencoe: Free Press, 1960).

Geertz, Hildred, The Javanese Family: A Study of Kindship and Socialization, (New York: The Free Press of Glencoe, 1961).

Grusky, David B. Social Stratification: Class, Race, and Gender in Sociological Perspective, (Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1994)

Hart, H.L.A. The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1961).

______, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Legal Review, (1958),

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1988).

Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta, Jakarta dalam Angka, (Jakarta: Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta, 1998).

Korson, J. Henry, “Student Attitudes toward Mate Selection in a Muslim Society: Pakistan”, dalam Journal of Marriage and the Family, Vol. XXXI, No.1, (1969).

______, “The Roles of Dower and Dowry as Indicators of Social Change in Pakistan”, dalam Journal of Marriage and the Family, Vol. XXX, No.4, (1968).

______, “Dower and Social Class in an Urban Muslim Community”, dalam Journal of Marriage and the Family, Vol. XXIX, No.3, (1967).

Levy, Rubeen, The Social Structure of Islam, (Cambridge: The University Press, 1962).

Mernissi, Fatima, Women and Islam: An Historical and Theological Inquiry, (Oxford: Basil, 1991).

Morawetz, Thomas, The Philosophy of Law: An Introduction, (New York: MacMillan Publishing Co. Inc., 1980).

Rahmat, Jalaluddin, “Dari Psikologi Androsentris ke Psikologi Feminis”, dalam Ulumul Qur’an, , Vol. V, Edisi Khusus, No. 5-6, (1994)

Samaluthi, as, Nabil. M. Taufik, 1987, Pengaruh Agama terhadap Struktur Keluarga, terj. Surabaya: Bina Ilmu, (1991).

Soekanto, Soerjono, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985).

Svalastoga, Kaare, Diferensiasi Sosial, terj. (Jakarta: Bina Aksara, 1989).

Sujatmiko, I. Gardono, “Stratifikasi Sosial dan Mobilitas Sosial”, dalam Jurnal Sosiologi Indonesia, No. 1, (1996).

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta; Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993).

Wani, M. Afzal, The Islamic Institution of Mahr: A Study of Its Philosophy, Working and Related Legislations in the Modern World, (Noonamy, Kashmir, Upright Study Home, 1996).

Zahrah, Muhammad, Abu, Membangun Masyarakat Islami, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).


Leave a comment

Categories